Sabtu, 12 Maret 2011

Apakah Putih masih seindah warnanya di 2014..?

Suatu siang di kantin kantorku, seorang teman, sebut saja Tri-engenir mesin-berbincang dengan ku seputar perpolitikan di Indonesia.  Tri menanyakan, bagaimana tanggapan ku perihal gonjang ganjing politik di Indonesia.  Maklumlah, Tri ini sifat keinginan untuk tahu cukup besar dan mungkin juga ingin nge-tes saja kepada ku-sang manajer baru-di kantor.  Memang agak kritis dan diam-diam menghanyutkan Tri ini.  Sambil menyeruput minuman air putih dan sepotong buah semangka segar, Tri lanjut melayangkan pikirannya bahwa, koalisi yang ada saat ini sangat buruk dan tidak memikirkan rakyat.  "betul itu Tri" sahut ku...."Memang politik saat ini lebih kotor dibandingkan dengan era Soeharto"....tukas ku dengan nada kesal.  Pikiranku melayang kepada penjelasan rekan ku yang bekerja di Dinas Pertanian Jawa Barat di Bandung yang mengatakan bahwa, sekarang mah, partai-partai yang bicara..bahkan partai putih pun ikut-ikutan untuk tidak putih gerakannya.  Misal, adanya disposisi dari atasan untuk menunjuk langsung pihak ketiga yang tidak lain masih punya hubungan kepolitikan dengan sang Gubernur saat ini. 

Kembali kepada kisah Tri dan saya di kantin kantor.....Aku mengatakan kepada Tri, bahwa perbedaan mencolok di ranah politik atau situasi negara kita antara era reformasi dengan era Soeharto adalah pada tatanan stabilitas.  Di era Soeharto, partai politik tidak banyak berbuat onar seperti saat ini.  Eksekutif berjalan dengan agenda-agenda yang terarah...bandingkan dengan saat ini.  Belum genap 5 tahun , pemerintahan SBY sibuk menata koalisi.  Padahal minyak dunia dilanda kenaikan harga, pelabuhan penyebarangan Merak macet hingga belasan kilometer, kemiskinan dan pengangguran kasat mata terlihat.  Gila, polotikus asyik menata peran untuk 2014, tetapi rakyatnya tidak keurus.

Menarik, bagi ku untuk berkomentar mengenai si putih-partai debutan di tahun 2004 dan 2009-dengan jargonnya, bersih dan jujur.  Parti ini, merupakan partai yang memiliki basis masa yang kuat/real dengan tingkat kedewasaan masanya cukup tinggi.  Akan tetapi, faktor kedewasaannya itu pulalah yang bisa jadi menyebabkan partai putih ini dapat hilang kendali terhadap basis masanya.  Karena, orang yang tingkat kedewasaannya cukup tinggi, akan memiliki sikap kritis yang tinggi pula.  Kita lihat sepak terjang parti putih ini, yang menurut saya agak aneh pula.  Di satu sisi ingin memperjuangkan rakyat tetapi disisi lainnya sibuk pula mengatur peran "suara" di tahun 2014.  Saya, agak miris melihatnya tatkala, parati ini dimotori oleh pendiri-pendiri da'wah di tahun 90-an yang ingin memperjuangkan amal ma'ruf nahi mungkar tetapi saat ini, kesan saya kok "sama saja" dengan partai lainnya dalam perspektif penggalangan suara (politik praktis). 

Memang politik itu tidak lepas dari suara, tetapi akan sangat aneh jika suatu partai dengan jargon da'wah sibuk pula ngatur gonjang-ganjing koalisi.  Politik dagang sapi kesannya.  Beberapa anggota partainya pun terkena masalah misal, Misbkahun, Nunun (isteri Adang Darajatun) dan tidak menutup kemungkinan Rama Pratama untuk kasus Dephub di tahun 2008/2009.  Saya berani prediksi bahwa partai ini tidak akan menuai suskes sepert tahun 2004 dan 2009 yang lalu.  Kejadian di tahun 2009 saja, di DKI sudah dapat menjadikan pelajaran untuk partai ini.  Dimana di tahun 2004, partai ini meraih suara yang fantastis yaitu sekitar 30  persen lebih di DKI, tetapi di tahun 2009, jeblok.  Patut diingat bahwa, masa atau simpatisan partai ini adalah masa yang terdidik dan melek informasi.  Sehingga akan dengan mudah melihat bagaimana sikap partai ini terhadap kondisi bangsa, baik yang dinilai positif maupun negatif.  Contoh, bagaimana seorang Fachri Hamzah di telp oleh pemirsa (talk show live) yang tidak lain adalah simpatisan partai ini yang cenderung memojokan Fachri Hamzah yang terlalu over dalam menjelek-jelekan KPK dan kejaksaan.  Itu merupakan realita atau konsekuensi dari partai yang memiliki basis masa yang kritis. 

Belum lagi jika kita me-refer kepada hukum sebaran populasi yang menjelaskan bahwa, sebaran populasi itu seperti genta atawa lonceng.  Dimana, populasi terbanyak adalah di tengah genta lonceng tersebut.  Dalam kondisi real masyarakat kita, populasi di tengah tersebut adalah masa yang tidak memiliki politik aliran.  Contohnya saja Tri dan saya.  Kita berdua bukan anggota si putih, bukan NU bahkan bukan pula Muhammadiyah.  Kita berdua adalah realitas kebanyakan penduduk Indonesia yang harus dimenangkan oleh banyak partai.  Partai putih, dengan konsep da'wahnya tentu akan sangat mudah diterima oleh mereka yang mengerti akan da'wah partai terutama dari para kader-kadernya.  Akan tetapi masa yang jumlahnya ratusan juta tetap tidak mengerti akan konsep da'wah apalagi pemilih pemula.  Nah pertanyaannya adalah apakah partai putih ini dapat mentransformasikan dirinya dari hanya partai kanan menjadi partai tengah yang dapat mengakomodir suara ratusan juta orang...? 

Kasus koalisi, kader partai yang bermasalah dengan hukum seakan menjadi PR bagi partai ini untuk perbaiakn diri.  Saya, sebagai anak bangsa, muak pula melihat partai yang nuansa Islam tetapi memiliki pikiran yang sama dengan partai non-Islam lainnya, yaitu suara.  Kita rindu akan sosok Gus Dur, Habiebie, Soekarno, Hatta dan Natsir yang merupakan negarawan bukan politikus.   Bukan pula politikus busuk.