Minggu, 20 Februari 2011

Air sebagai sumber hidup

Baru-baru ini, saya dan teman-teman melakukan penanaman trembesi (samanea saman) di sekitar lokasi pabrik. Kegiatan tersebut sebagai bentuk kepedulian kami kepada lingkungan khususnya antisipasi global warming dan pelestarian ketersediaan sumber daya air. Bersama dengan komponen masyarakat, seperti Kodim 0607 SKI dan Muspida Sukabumi serta para tokoh masayarkat dan pemuda di sekitar pabrik, melakukan gerakan tanam trembesi.  Sebanyak 4000 pohon trembesi dan 300 tanaman buah, dibagikan serta di tanam di sekitar kecamatan Cicurug Sukabumi. 

Pemilihan trembesi (samanea saman) oleh kami, bukanlah suatu kebetulan, tetapi dengan berbagai alasan.  Alasan terpenting adalah bahwa tanaman ini dapat menyimpan air dan dapat menyerap CO2 sebanyak 28 kg/tahun/pohon dewasa (hasil penelitian IPB).  Selain gerak tumbuhnya yang cepat juga dapat dijadikan tanaman peneduh terlebih lagi sangat cocok untuk tanaman penyimpan air.  

Seperti diketahui bersama bahwa air merupakan hajat hidup orang banyak.  Di daerah Sukabumi Utara, tepatnya di Cicurug banyak terdapat industri yang menggunakan air baik air permukaan maupun air tanah dalam.  Beberapa perusahaan AMDK (air minum dalam kemasan) skala besar yang ada di Cicurug serta perusahaan-perusahaan tekstil pun menggunakan air dalam skala besar.  Belum lagi kebutuhan air untuk pertanian dan sehari-hari.  Banyak warga di Sukabumi Utara yang belum menikmati air yang berkualitas.  Jika saya dan teman-teman sedang berkeliling kampung, sangat disayangkan bahwa, daerah Sukabumi Utara yang kaya investsi dari perusahaan pengguna air tetapi masyarakatnya masih menggunakan air yang kurang berkualitas.  Jika dilihat dari kondisi alam yang ada, memang telah terjadi perubahan kualitas air permukaan (baca: sungai atau kali).  Sungai atau kali di sekitar pemukiman penduduk yang umumnya dapat digunakan untuk kegiatan cuci dan mandi saat ini kualitasnya kurang memadai.  Coklat dan kotoran atau sampah yang terbawa dari arah hulu memperburuk keadaan kualitas air permukaan. 

Dilihat dari sistem budaya masyarakat Sukabumi Utara yang cenderung menggunakan air permukaan sebagai sumber cuci dan mandi, maka tidaklah heran jika terjadi "perebuatan" pemanfaatan air. Kondisi geografis pemukiman yang berbukit-bukit, pada awalnya sangat ideal untuk menyalurkan air secara sistem grafitasi dan menampungnya di kolam-kolam air sekitar pemukiman.  Akan tetapi seperi yang diulas di atas, saat ini telah terjadi penurunan kualitas air permukaan.  Seperti contohnya, saat ini terdapat pasar sementara di Cicurug yang sebagian pedagangnya membuang sampah di kali. Dimana hal tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas air permukaan.  Akhirnya akan berdampak kepada penurunan kualitas kesehatan masyarakat dimana sebagian air dari sungai tersebut digunakan untuk kegiatan cuci dan mandi. Ironisnya hal ini tidak dilihat oleh komponen masyaraat setempat, baik peerintahan lokal maupun kaum pergerakan LSM di Cicurug.

Mencermati kaum pergerakan (LSM) di Cicurug, memang sangat jauh dari kondisi ideal.  LSM yang bergerak di Cicurug sifatnya hanya lokal dan tidak memiliki konsep untuk kemasyarakatan.  Masih berkutat kepada masalah perut saja dan belum kepada tatanan pemberdayaan dan advokasi masyarakat.  Hasil survey kecil-kecilan yang dilakukan oleh pihak kami kepada masyarakat sekitar pabrik mengenai keberadaan LSM, cenderung bersifat apatis.  Masyarakat pun sudah memaklumi bahwa apa yang dilakukan oleh LSM hanya untuk kepentingannya sendiri dan bukan untuk masyarakat.  Padahal di Cicurug terdapat 70 an LSM yang pengurusnya itu-itu saja (hmmm...ironis sekali). 

Kenapa mereka membuat LSM..? jawabannya adalah kondisi psikologis masyarakat Sukabumi Utara khususnya Cicurug dan kesempatan memperoleh pekerjaan.  Secara psikologis kemasyarakatan, kondisi masyarakat Sukabumi terutama kaum adam sangat tidak ulet (pemalas).  Mereka ingin uang mudah walaupun hanya sedikit saja.  Entah karena dimanja oleh alam atau karena telah terjadi perubahan perilaku atau budaya tetapi satu yang tidak dapat dibantah adalah sifat konsumtifnya yang relatif tinggi di Sukabumi Utara ini.  Selain itu, ketersediaan lapangan kerja pun semakin kecil.  Banyak kaum adam yang hanya mengandalkan dari ojeg para karyawati pabrik tekstil sebagai mata pencaharian utamanya.  Seperti pabrik tekstil pada umunya, dimana tenaga kerja terbanyak adalah kaum hawa, sehingga kaum adam sangat kekurangan lapangan kerja.  Hal inilah yang menyebabkan munculnya LSM-LSM yang tidak karu-karuan tersebut di Cicurug.  Tetapi memang tidak semuanya tokoh-tokoh LSM tersebut kurang kompeten, ada pula yang memang memiliki visi atau pun misi yang baik walaupun masih pada tataran lokal. 

Kembali kepada masalah air...ya, memang patut diakui bahwa ketersediaan air di bumi ini tidaklah berkurang hanya saja kualitas air yang berkurang.  Seperti terlihat di dalam kondisi air di Sukabumi Utara.  Mungkin dulu, 20-30 tahun yang lalu, sungai-sungai di sana cukup berlimpah airnya dan dapat digunakan untuk cuci dan mandi.  Tetapi seiring dengan alih fungsi lahan terutama untuk industri dan pemukiman, semakin mempercepat kondisi buruk air permukaan yang ada.  Seperti pada kasus sampah pasar tersebut.  

Oleh karena itu, program penghijauan yang dilakukann oleh kami dan atau komponen masyarakat lainnya merupakan langkah yang tepat untuk memperbaiki kondisi air.  Adalah kewajiban kita untuk memberikan kehidupan yang layak bagi generasi saat ini dan menjadi kewajiban kita pula untuk memberikan lingkungan yang baik bagi generasi di masa yang akan datang.  Mari teman-teman, segenap komponen masyarakat, dukung aksi-aksi penghijauan dimana pun berada dan sukseskan program penanaman trembesi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar